Menakuti atau mendidik (Refleksi Hari Pendidikan Nasional)
Saya
pernah ditanya soal ini dalam sebuah sesi workshop kepenulisan, seorang
penanya, guru Bahasa Indonesia sebuah SMA, bertanya: "Anda bilang,
tidak ada tulisan yang bagus atau jelek. Anda juga bilang, tulisan
hanyalah soal relevan atau tidak relevan dengan pembaca, bermanfaat atau
tidak bermanfaat. Lantas bagaimana kami harus menilai tulisan yang
dibuat oleh murid2 kami? Kan kalau tidak ada yang bagus atau jelek,
bagaimana memberikan angka nilainya?"
Ini jenis pertanyaan yang
sangat dalam, yang tentu saja, siapapun yang akan memberikan jawaban
dengan seketika menunjukkan bagaimana dia memahami masalah ini. Jawaban
saya simpel: berikan saja nilai bagus. Jika nilai terburuk adalah nol,
paling bagus adalah 100, maka apa susahnya seluruh tulisan murid2
dikasih nilai 80, atau bila perlu 90.
Kalau kita sekolah di
universitas2 besar Amerika, atau Jepang, maka kita akan menemui guru
besar, profesor dengan wisdom yang amat menakjubkan soal ini. Mereka
sering bicara dalam banyak kesempatan, atau banyak murid2nya (mahasiswa
kita yang kuliah di sana) yang membuat tulisan atas pemikiran mereka,
dan sangat menarik membacanya, memahaminya. Kadang, betapa berbedanya
cara kita memandang proses pendidikan. Dan itu tercermin dari komentar
kita, perbuatan kita, dan keputusan kita.
Sebenarnya apa sih
fungsi seorang guru? Mendidik? Atau memberikan nilai? Mendorong,
memotivasi? Atau menekan, atau menakuti? Apa sih sebenarnya fungsi
seorang guru?
Lantas apa sih tujuan dari kita semua belajar?
Menemukan ilmu baru? Atau hanya mempelajari yang ada? Menambah khazanah
ilmu? Atau sekadar memperoleh nilai dari ilmu2 tertulis di buku? Mencari
ilmu? Atau mencari angka dan ijasah? Apa sih sekolah itu? Taman bermain
penuh ilmu, atau panci panas tekanan tinggi?
Lihatlah, dalam
ujian skripsi, thesis, di negeri ini, para penguji berubah menjadi
harimau lapar, galak sekali menghabisi mahasiswanya. Astaga? Apa
poin-nya? Di mana hakikat mendidik jika sebuah ujian hanya menjadi
neraka, bukan sebaliknya tempat menyenangkan utk berdiskusi,
kemungkinan2 penelitian lanjutan, dan kemungkinan2 munculnya ilmu baru.
Lihatlah, jutaan murid2 kita setiap tahun harus melewati ujian nasional.
Apa poin-nya? Untuk membuat klasifikasi? Untuk menyimpulkan sebuah
proses pendidikan? Siapa yang pintar, siapa yang goblok. Siapa yang
boleh lanjut sekolah, siapa yang cukup di sini saja daripada nanti
merepotkan? Padahal bukankah, orang paling goblok sekalipun berhak atas
pendidikan lanjutan.
Tidak bisakah kita memberikan nilai dalam
bentuk kalimat: "Anda telah berusaha dengan sungguh2, memulai dengan
amat berat, tapi Anda menunjukkan kemajuan yang sangat baik, teruslah
berusaha. Perbaiki kalimat pembukanya, lebih banyak mencari referensi,
jangan takut membuat analisis, lantas berikan kesimpulan yang kokoh."
Kemudian sebagai guru kita tuliskan A, atau 90 di karya tulis murid
tersebut. Tidak bisakah kita menjadi guru yang mendidik, bukan
menghakimi. Kita toh bukan polisi yang memang bertugas menghukum, juga
bukan hakim yang memang menghakimi. Kita adalah pendidik, hukuman dari
kita pun sifatnya adalah mendidik.
Saya tahu, kita tidak hidup
dalam sistem yang selalu mendukung filosofi mendidik yang kita pahami.
Bahkan boleh jadi, kita malah dibenturkan dengan realitas menyakitkan.
Tapi tidak apa, Kawan. Kita tetap bisa punya ruang untuk menjadi guru
yang selalu mendorong murid2nya. Saya selalu menemukannya dalam sejarah
sekolah formal yang saya miliki. Ketika SMA, saya menemukan guru2 baik
yang tidak peduli soal nilai, tidak peduli soal angka2, selain terus
melatih anak muridnya berkembang. Dalam pelajaran bahasa Indonesia
misalnya, saya pernah punya guru yang menciptakan pekerjaan rumah yang
menarik, tugas2 yang hebat, bahkan saat ujian sekalipun, dia membuat
soal2 yang menakjubkan, menantang kemampuan menulis, dan itu sungguh
memicu kemampuan murid2 untuk menjadi penulis. Tidak apa, kalau memang
tetap terpaksa memberikan angka untuk nilai. Tapi bukan berarti kita
tidak bisa menjadi guru yang selalu memotivasi murid2nya.
Buah
dari pendidikan itu baru akan dipetik di masa depan. Ibarat menanam
pohon. Jika sejak awal akar2nya keropos, malah disiram dengan pupuk
ketidakjujuran, kecurangan, besok lusa buahnya akan pahit dan merusak.
Tapi jika sejak awal akar2nya kokoh, disiram dengan integritas dan kasih
sayang mendidik, meski sekarang tidak terlihat heboh, keren, dahsyat,
besok lusa justeru buah yang akan dipetik terasa manis dan bermanfaat.
Dari mana sih datangnya orang2 jujur? Orang2 yg peduli? Orang2 yg
bermanfaat? Dari proses pendidikan yang baik. Orang2 ini tidak datang
dari proses sim salabim, muncul dari kotak.
Maka, darimana
datangnya orang2 korup? Jahat sekali menzalimi hak orang lain? Dari
proses pendidikan yang buruk. Orang2 ini tidak seketika jadi jahat.
Semua orang seharusnya bercermin, termasuk penulis seperti saya, apakah
sudah memberikan tulisan2 yang bermanfaat, mendidik atau sebaliknya.
Tulisan yang seru2an, heboh, laku, membuat kaya raya, besok lusa
pembacanya jadi apa, lupakan soal lainnya.
Semoga semakin banyak yang mau memikirkannya
from http://www.facebook.com/groups/kabumiupi/permalink/10151595879375272/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar